Dalam sebuah
perjalanan pulang untuk ketemu orang-orang yang mau ikut membangun RUMAH HUJAN
aku bertemu dua sosok yang wajahnya mirip wiji thukul! Ya..memang aku ndak
pernah liat wajah pak wiji itu, tapi di buku atau internet aku punya pandangan
tentang gestur mukanya hmm, atau obsesiku saja yang berlebihan? Orang yang
pertama adalah seorang supir travel gila yang aku tumpangi. Dengan trevel tua
dan bercat pudar dia gaspol teruuus jogja pekalongan tanpa tarik nafas mungkin.
Yang kedua ada di warung, sosok itu, yang mirip pak wiji, memkai baju superman!
Di senyum-senyum ngeliat dangdutan yang diadain empunya warung. Entah, kenapa,
aku tiba-tiba menuliskan cerita ini. Sebuah cerita yang sebenarnya nggak ada
hubunganya sama sekali dengan tulisanku. Mungkin dua sosok itu jadi pengingatku
yang hampir-hampir lupa dengan perjuangan-perjuang pak wiji, semoga kalian yang
terus berjuang tak lupa dengan yang pak wiji tempuh...dan untuk pak wiji, kita
rindu bapak dalam fisik, maupun dalam sajak...hmmmm
Beberapa
hari ini aku benar-benar digilakan oleh tuntutan yang tak habis-habis. Dan
tahukah kalian? Disela-sela kegilaan yang sedang aku jalani, sosok itu, yang
akan kau temui nanti lebih sering menampakan diri! Ya dia memang bukan
genderuwo, tapi kehadiranya menyeramkan, ia bisa datang begitu saja (jangan
bayangkan dia bisa menghilang!). dan terserah kalian bagaimana menyikapi
tulisan-tulisan ini. Karna fakta tidak
bisa membuat kalian percaya lagi. Dan apa yang kalian percaya sekarang ini
hanyalah imaji-imaji yang bisa memperluas kekuasaan.
Kalau ndak
salah waktu itu hari rabu malam. Rabu adalah hari yang cukup menyita keringat.
Aku terpaku oleh rutinitas dari jam delapan pagi sampai jam enam sore! Dan
malamnya melanjutkan apa yang tak bisa diselesaikan sore! Hahaha homunculus-ku
pasti lebih sering pingsan pada hari rabu, karna akut ak mendengar
kebisingan-kebisingan di hari ini. Saat itu, rabu malam, dan aku duduk di depan
nasi kucing, tempe bakar, dan jeruk anget. Didepanku ada bapak-bapak paruh
baya. Satu memakai jaket kulit, satu memakai kaos polo lusuh dan disamping
kerahny ada lubang kecil, dari lubang itu, kulit coklat legam mengkilat tampak
mengintip. Entah salah apa aku, atau mungkin dari awal mereka sudah curiga aku
ikut mendengar percakapan mereka, bapak yang memakai jaket kulit bertanya.
Aku
terjemahkan ke bahasa indonesia, biar ndak nulis terlalu banyaak (trnyata nulis
jawa-indo-jawa-indo terus itu capek bung!)
“dek, dulu pernah dapet pelajaran
bahasa jawa?”
“pernah lah pak,
kenapa pak? Njenengan guru bahasa jawa ya hehe?” aku malah cengar-cengir kurang
ajar
“bukan..adek pernah
dengar kata ajining diri saka lathi ajining
raga saka busana agama agemaning diri?”
“pernah pak, sd
saya malah nulis itu di kertas asturo buat ditempel dikelas pak”
Bapak yang memakai jaket kulit diam untuk meminum
kopinya, dan bapak satunya, dengan wajah berkeringat menggntikan peran rekannya
yang masih minum kopi
“adek tahu
artinya?”
“hahaha ndak pak,
saya tahunya bahasa indonesianya tok pak, kalau artinya ndak paham, bapak mau
kasih tahu saya?”
Bapak dengan baju polo lusuh itu menghisap kreteknya,
kemudian tertawa, entah kenapa
“hahaha bapak ini
Cuma tukang becak dek, tapi semalam waktu bapak pergi ke musola di kampung
bapak ada orang tua, orang sepuh, dia duduk di di latar sama bapak habis sholat
isya..dia bilang: mas orang-orang kota itu lucu ya, mereka tahu tentang agama agemaning diri ndak tho? Kok
banyak sekali orang yang merasa berpakaian ternyata telanjang bulat, dan orang
telanjang kok ternyata berpakaian”
“terus bapak ngomong
apa?”
“ya saya Cuma
cengengesan dek hahha orang saya ini
ndak tahu apa-apa. Tapi kalo buat saya ya yang penting kelakuan kitanya dek,
terserah mau pakai pakian apa. Toh Gusti Alloh itu ndak liat dari pakain kita,
tapi dari kelakuan kita setelah memakai pakaian mas. Ndak patut juga sih dek
kalo kita mau bantu orang tapi telanjang, anunya gondal-gandul hahaha”
Tawa di gerobak angkring pecah...
“iya..yang penting
kan lakunya mas, bukan seragam atau pakaiannya”
Tiba-tiba bapak dengan jaket kulit itu ikut berbicara
lagi. Mungkin ia sudah bosan dengan kepulan kopi, yang panasnya tak kunjung
reda.
Dan akupun pulang, setelah melewati beberapa pembicaraan
penting. Ditangan, kutenteng plastik hitam yang isinya penuh, rencanaku waktu
itu untuk nonton film-film baru, dan samapai dirumah...dia, sosok yang akan kau ketahui nanti itu sudah muncul dengan kretek
menyala ditangannya.
“darimana?”
Ia bertanya
dingin, hampir-hampir seperti polisi yang mengajukan pertanyaan di ruang
introgasi..
“beli makanan, kamu
ini tahu wae yo waktu yang pas...sial, ini gorengan, kita makan bareng-bareng”
Setelah kopi hitam kental dan gorengan tersiap, aku hapus
dengan kecewa yang masih tersisa acara nonton film-film baru (atau biru)
“kamu ini masih
buat lingkar diskusi?”
Lagi-lagi ia bernada seperti polisi, hmm...aku ndak
pernah ada di posisi tersangka yang diintrogasi polisi dengan rokok disulutkan
dikulit, aku hanya meniru apa yang televisi beri. Bukankah televisi sudah banyak mencuri peran imajinasimu?
“iya, ya masih
kecil kok, Cuma dua tiga orang, belum bisa membentuk lingkaran lah kalo buat
duduk haha”
“malah
cengangas-cengenges! Kamu pikir dengan berdiskusi itu kamu bisa menyelesaikan
ini itu?! Masalah itu kamu jalani, bukan kamu bicaraka!”
“tapi bagaimana aku
bisa menjalani kalo saya ndak paham, saya bentuk diskusi agar setidaknya paham”
“ya maksudmu itu
bagus, tapi tahukah kamu?pernahkah kamu dengar kata-kata, bahwa cocot iku seje ceker su! Betapa kata
asu disitu menegaskan kita, bahwa kita yang masih Cuma gonggong itu belum bisa
dikatan sudah menangkap maling, apakah kamu tidak tahu bahwa banyak maling
sekarang yang budeg atau sekedar memakai penutup telinga, maling-maling
sekarang ini kebal suara, kamu harus berjalan dan menerkam, baru kamu bisa
dibilang anjing penjaga. Itu kalo kita sebagai posisi anjing, nah kalo kita ini
merasa manusia yang jangan Cuma berdiskusi, ingat, awan tak akan mengubah
haluanya hanya karna kita menyanyikan lagu sendu, kamu perlu melakukan aksi
langsung, agar awan mau berkumpul membentuk mendung lalu memanggil hujan”
Aku tak paham apa yang ia ucapkan. Aku tak mengerti...aku
pun ingin menghentakan protes, berontak barangkali
“awan mana yang
bisa diatur oleh manusia, aksi seperti apa yang bisa dilakukan oleh
manusia?manusia hanya bisa membicarakan awan, dan berharap agar ia mau
mengikuti lagu-lagu sendu kita”
“hahaha..kamu ini
sudah jadi orang kota kebanyakan, yang tak percaya dengan keajaiban-keajaibn!
Apa kamu kira setiap jalan yang kamu tempuh, pilihan-pilihan yang kamu gunakan
itu ndak berpengaruh buat alam? Apa kamu kira harmoni kamu itu Cuma diseputaran
lingkungan manusia? Tahukah kamu tentang teori yang orang barat katakan sebagai
chaos theory? Kita ini ndak tahu apa-apa, kita ndak bisa mengatur
langkah-langkah alam, baik yang tampak dan besar apalagi yang kecil tak kasat
mata. Kita ini maha tak mengetahui apa-apa. Setiap langkah dan jalan yang kita
pilih pasti memiliki dampak. Ingat dan garis bawahi, yang akan berdampak hanya
yang sudah berlaku, langkah, bukan hanya pembicaraan panjang atau buah
pikiran!”
Aku merasa dikebiri, apakah lingkar diskusi ku ini
benar-benar tak berati dimatanya? Dia menarik dalam-dalam kreteknya..dan
menyambung lagi..
“dengarlah ini,
lingkar diskusi mu itu adalah sumber mata air, yang harus dijaga benar-benar.
Jangan sampai kemasukan racun! Dari sumbermu itu akan mengalir, dan mengalir.
Lalu dikonsumsi banyak manusia lain. Jangan sampai kalian mempermainkan ilmu
pengetahuan! Aku ragu, apakah kamu ini benar-benar sudah tahu tentang konsep
ilmu pengetahuan?”
“belum..apakah
untuk pengetahuan saja aku perlu konsep?”
“hahaha memang,
konsep dan teori itu juga buah pikiran, masih cocot tok, tapi kamu perlu tau
arti dari kata tau Tau itu ndak ada batasnya. Bahkan jik kamu ndak tahu itu
berarti kamu masih tahu. Tahu bahwa kamu ndak tahu. Nah manusia kebanyakan ini
merasa tahu segalanya, dan ia merasa pengetahuanyalah yang paling benar. Jangan
sampai kamu menghasilkan orang-orang seperti itu di diskusimu! Orang-orang
seperti itu adalah orang-orang yang tertipu! Kamu tak bisa mengetahui
segalanya. Dan jangan harap untuk bisa tahu segalanya. Setelah kau tahu
segalanya kau akan jauh denganNya. Dia
yang Maha Tahu enggan memberi tahu padamu sesuatu karna kamu sudah merasa tahu
akan segala sesuatu, padahal kamu ndak tahu tentang segala sesuatu, apakah kamu
mau menciptakan orang-orang yang jauh dan buta tuli kepada Tuhan Yang Maha
Tahu. Sang Hyang Segalanaya”
Aku diam. Untuk menghentakan nafas saja berat sekali, aku
tak bisa berontak. Kubangun sedikit demi sedikit energiku, untuk membela apa
yang aku bangun..
“tapi lingkar
diskusiku ini hanya membicarakan aksi-aksi yang kita ambil, agar aksi yang kita
ambil masih berkesinambungan dangan konsep-konsep yang kita rancang dan tidak
keluar jalur, hanya itu..”
Dia tertawa dan batuk sesekali. Kreteknya terlalu dalam
ia hisap...
“ya, itu dari kamu,
apa kamu kira semua orang di diskusi itu gobloknya sama dengan level goblok dan
pekokmu? Apa kamu kira level kelicikan mereka ini sama dengan kelicikan mu?apa
kamu kira kecerdikan mereka ini ndak lebih tinggi dari kamu?sehingga mereka
ndak mungkin menipu daya niat lugu mu yang masih kacau balau itu?”
Saya berontak..
“saya percaya
dengan mereka! Walaupun masih banyak yang Cuma bermulut besar, tapi biarlah,
itu bisa menjadi acuan mereka untuk jadi lebih baik kok! Daripada kamu nyela
terus apa yang tak lakuin, ceker mu sendiri sudah sampai mana?”
Dia menatapku tajam..mampus.
“hahaha! Cekerku
ini ndak perlu kamu tahu sampai mana, cekerku ini tak sembunyiin, saya ndak
suka orang melihat jejak-jejak kaki yang saya buat. Bukankah jejak kaki itu
menunjukan eksistensi kita? Seandainya kamu benar-benar tulus, berjalanlah
seperti hantu, jika kamu sulit jadi malaikat. Jangan sampai meninggalkan jejak
untuk setiap kebaikanmu. Tapi biarlah, menjadi hantu atau malaikat itu terlalu
sulit untuk orang-orang kota yang tak percaya dengan hal-hal tak kasat mata.
Orang-orang membutuhkan hal fisik, data, dan bukti tersentuh. Mereka sudah
menihilkan hal-hal tak kasat mata, kekuatan alam, atau apapun yang tak
berwujud. Karna orang-orang sekarang ini suka memperlihatkan apa-apa yang ia
lakukan. Ya mereka semua dan kamu ini termasuk pemuja fisik. Kamu mau orang
lain melihat kerja kerasmu, untuk apa? Kamu mendustai dirimu sendiri!”
Aku mengelak waktu itu
“sudahlah, jangn terus
mebunuh alam pikiranku!”
“orang kira mereka
ini tulus kerja buat oganisasi sosial, padahal mereka mau dipandangan berbakti
dn berguna. Orang rela mati syahid hanya untuk dianggap pahlawan, orang jadi
dermawan hanya untuk memberi thu bahwa ia suka membagikan harta. Tapi biarlah,
aku tak masalah juga dengan niat-niat busuk dibalik kebaikan. Asalkan kebaikan
itu benar-benar dilksanakan, biar Tuhanyng menentukan. Tapi kamu? Apa kamu ndak
khawatir nanti lingkar diskusimu itu Cuma terjebak di alam pikiran?kamu ndak
bisa merubah sistem hannya dengan cara berpikir keras siang dan malam, kamu
butuh turun lapangan dan mengganti sistemmu sendiri”
Aku semakin tak tahu dan merasa dihina. Bahkan ketika aku
tak tahu sesuatu aku merasa dihina, betapa cepatny aku mengambil keputusan
setiap hari...
“sudahlah,
mendingan kita habisin gorengan ini, aku ndak mau kasih kamu banyak-banyak hari
ini, ayo bsana buatkan aku teh hangat”
Seperti terhipnotis, kala itu aku pergi dan membuat teh
hangat, dua gelas.lalu duduk diam melewatkan tempe dan pisang goreng yang habis
disambar sosok itu..ia pun pergi. Dn aku sendiri dengan
kebingungan-kebingunganku..
Sekarang aku sudah didepan komputer, merancang postingan
blog dan artikel untuk zine minggu ini, tapi..semua itu hilang, dan aku menjadi
paranoid. Aku takut jika aku jadi sosok yang hanya memakai cocot tok. Memakai
mulut tok untuk mengatasi semua masalah, aku takut aku terjebak dalam alam
pikiranku..
Tiba-tiba telponku berdering, dia, yang akan kau ketahui
nanti mengirim pesan pendek..
“lepaskan, lepaskan semua hal yang
memberatkanmu, taruh disakumu untuk sementara, kau urai lagi nanti saat
waktunya tepat, jika memang kamu harus berjalan, berjalanlah, jangan sampai
terjebak dalam alam pikiran. Berjalan dan uraikan hal-hal tadi dalam
perjalananmu, jagan terjebak dalam alam pikiran, jangan terjebak dalam
kerang-kerangka pikiran,lepaskan dan urai lagi nanti”
Aku pun berhenti menulis...dan membuat teh hangat dengan
sedikit perasan jeruk nipis..aku keluar memandangi langit yang biru,jingga,oren
,gelap dan entah warna apa lagi..ternyata ini sudah pagi..dan aku belum menulis
sesuatu, biarlah, aku tak ingit terpaku untuk selalu menulis, lepaskan, dan
jangan terjebak kerangkan pikiran dan rutinitas yang membunuh perlahan..
jika pikiranku terlalu
keras, lidahku terlalu kotak, maka imajinasiku terbungkus plastik hitam tebal.
saat-saat seperti itulah aku tak bisa menulis. karna sesuatu dariku telah
dicuri entah oleh siapa. entah burung nuri, entah rutinitas, atau diam-diam tersedot
televisi...
-IA-