Mata
berat bukan karena haru pilu
Bukan
karena biru
Ini
panggilan malam
Pejamkan
saja..
Berontak
kornea ku dan berteriak
Kopipun
mengisi sekat lidah
Jangan
dipaksa
Pejamkan
saja
Malaikat,dan
iblispun telanjang diatas malam
Tidak,aku
sudah bermimpi..
Aku
terpejam..
Gelapnya
terang datang
Mata
ini kejam
Merajam
waktu yang berputar
Aku
terpejam
Terpejam
sebentar
Saat
mata terbuka menyalak
Martilnya
pun menghantam
Mengepingkan
puncak kepala dan membuyarkan mimpi
Kepalapun
dikuasainya
Dikuasai
pusing karena kantuk
Dan
kantuk bukan karena pusing
-IA
Hari
ini aku bisa tidur. Walaupun dengan pusing yang mengambang tapi tak
apalah.
Semalam
aku bermimpi lagi tentang perjalanan di bromo. Tentang bapak yang
mukanya berminyak. Dan tentang satu bapak lagi yang belum sempat aku
ceritakan. Dalam mimpi semalam, kedua orang ini saling menatap satu
sama lain. Seperti berkaca. Tapi entahlah, aku bukan penafsir mimpi.
Bapak
yang kedua adalah seorang penjual angkringan di daerah
karanganyar,solo.
Wajahnya
lelah. Mungkin karena terlalu sering melihat lampu bus sumber
kencana yang jalan seenaknya. Bus sumber kencana yang mencari
uang tapi melupakan nyawa orang. Kalian akan menemukan bus ini dengan
kecepatan gila-gilaan jika kalian dari jogja menuju surabaya. Ada
juga bus sumber selamat. Entah mungkin pemiliknya mau buang sial.
Tapi aku rasa percuma. Walaupun kata “kencana” nya sudah
dihapus. (kalian tahu betapa hebatnya aura kata kencana-mengingatkan
setiap orang dengan penguasa ratu selatan..suatu saat mari
kita cerita tentang sosok wanita tersebut).
Bapak
ini menunggu gerobak angkringnya bersama seorang istri yang rambutnya
sudah mulai memutih. Dibawah gerobak bapak ini hanya sebuah tanah
merah yang basah karna sisa hujan beberapa jam yang lalu.
Ketika
usia menemani pernikahan seseorang hingga sangat lama. Yang ada tak
hanya cinta. Tapi rasa pasrah menunggu mati bersama. Dan setiap hari
mereka akan berdoa agar pasanganya tak meninggal lebih dulu..
Setelah
perut sudah terasa sesak. Aku merokok. Bapak ini juga merokok. Lalu
lahirlah percakapan.
Rokok,
yang sedang kalian coba larang, sebenarnya salah satu tali penghubung
percakapan yang ringan.
“dari
mana mas?”
“dari
bromo pak..ini mau kejogja”
“oh..aku
malah belum pernah kesana lho mas, padahal orang malang
sendiri..masnya asli jogja?”
“bukan
pak, aku asli pekalongan”
“wah...!
dulu pas aku masih sering nyetir suka berhenti di sana lho mas haha
(aku rasa maksud bapak ini, dulu waktu masih suka nyetir truk beliau
sering “jajan” di daerah pantura karisidenan pekalongan)”
“oh
bapak nya dulu supir? Supir apa pak?”
“supir
truk mas-tapi terakhir jadi sopir travel” ia melihat ke arah jalan
yang ramai kendaraan besar. Matanya memandang jalan. Dia berada
dijalan hampir 30 tahun, aku tahu ini kemudian setelah percakapan.
Pandanganya seperti kembali kememori masa lalu ketika ia dengan
gagahnya mengendarai truk besar. Atau mungkin menyusuri gang tikus
saat menjadi supir travel.
“mas,
pulangnya hti-hati, banyak bis yang suka makan jalan. Juga jangan
lupa hati-hati sama lampu merah disini mas. Kadang polisinya
nungguin”
Aku
hanya mengangguk. Lalu ia tertawa sendiri
“hahaha
lucu ya mas polisi ini, disekolahin mahal-mahal kok malah jagain
lampu . Apa duit tilangnya mau buat balik modal sekolahnya?hahha”
dia tertawa nyaring. Seperti ada bekas luka yang mau di korek
lagi-Sendiri. Dikorek diri sendiri mungkin.
“mas
nya mau kalo jadi polisi atau tentara?”
Ia
melihat tattoo di ranting-ranting jariku. “anti tank”. Anti pada
jari kanan, dan tank pada jari kiri. Ya, ini salah satu siksa kulit
pertama yang aku alami. anti tank adalah nama anonim dari seorang
penggiat poster di jogjakarta. Jika kalian pernah melihat poster
Munir “menolak lupa”. Itu salah satu karya anti tank. Aku suka
nama itu. aku merumuskanya sebagai sikap melawan kepada senjata
pemusnah kemanusiaan. Senjata yang besar, gagah menyeramkan namun
sebenarnya sangat pengecut. Ya kalian tahulah sifat semua senjata.
Untuk menutupi ketakutan dari pihak lawan-lahirlah senjata.
Tank adalah salah sayunya. Aku tak hanya membenci tank. Aku membenci
semua perangkat militerisme. Aku tak membenci orang-orang militer.
Tentara polisi dan sebagainya. Aku membenci militerisme yang mereka
terapkan.
Tidak
semua tentara dan polisi – dan aparat lainya – jahat. Tapi
seberapa banyak aparat yang masih menyisakan hati? Setelah di
indoktrinisasi – mereka akan menaruh hatinya dirumah. Cuma
ksatria sejati yang membela negara sambil membopong hatinya-kemanapun
ia pergi. Kebanyakan dari “mereka” sudah menjadi
mesin. Salah satu senjata negara. Dan ada kemungkinan aku mebenci
mesin-mesin seperti ini. Tapi hanya “ada kemungkinan”.
Bapak
itu menunggu jawaban sambil tersenyum.
“ndak
pak..saya ndak bisa jadi tentara sama polisi, yang bisa jadi tentara
dan polisi itu sedikit pak”
“lho
kalo mas duite cukup mesti iso kok.. banyak mas tetangga saya
yang masuk, tapi bayarnya mahal”
“hahaha
yang bener pak? Tapi maaf ya pak.. menurut saya mereka ini bukan
tentara- atau polisi. Yang tentara sama polisi sungguhan itu sedikit
sekali pak. Kebanyakan Cuma jadi pebisnis yang kebetulan pake
seragam terus nenteng senjata hahaha”
“betul
juga mas..haha jujur saja mas..saya ndak pernah ada rasa jadi aparat.
Tentara-polisi. Atas nama apapun saya nggak suka mas. Kok ketoke
ngencoti wong cilik terus.ora sing mbelo negara, ora sing mbelo
agama, kok koyone podo sak karepe dewe. Untung anak saya juga
ndak suka mas hahaha”
Bapak
ini sepertinya benar-benar ada dendam pribadi. Saya menyimak terus.
Apa yang terjadi sebenarnya masih buram. Gelap.
Lalu
istri bapak itu, eyang putri, menepuk pundak bapak
“uwis
tho pak, nek sengit yo wes sengit wae..ora usah
diceritak-ceritake..doso lho pak..ora ilok ah”
“lhoo
bu..yo ora opo-opo tho. Wong mas’e iki yo podo-podo ora seneng’e
kok. Iyo ra mas? Sing penting aku kan ora mempengaruhi. Dasare wes
podo ra senenge bu’e”
Aku
tersenyum kecut. Bapak ini terlalu cepat menarik kesimpulan. Aku ini
ndak suka militerisme nya pak. Bukan orang-orangnya.
Kalo
ada orang pake seragam tentara, lengkap, dikampung sambil mainin
burung perkutu, itu militer pak. Tapi kalo ada orang pake seragam
tentara, lengkap, dikampung sambil nembak orang-orang dusun, itu
militerisme pak. Tapi, aku urungkan untuk mengucapkan kalimat ini
pada bapak itu. takut-takut dia semakin membenci para “mesin
negara” ini. Aku bukan penebar benci.
“dulu
mas. Saya pernah dipukulin tentara. Enam orang ngroyok saya
yang Cuma satu orang”
Olala..tepat
sekali dugaanku!
“wah
itu jaman waktu saya masih nyopir mas. Awalnya dikejar mas. (si
bapak tidak menceritakan alasanya) Waktu dilampu merah, saya
terpaksa berhenti. Saya takut dihajar dobel. Sudah dipukul
tentara-dirampok polisi gara-gara nrobos lampu merah lagi.
Mending saya berhenti aja mas. Eh kok dijalan di hajar habis saya.
pake seragam lengkap”
Mungkin
kesalahan bapak ini fatal. Tapi sekali lagi – semua orang tak
memiliki hak untuk menghakimi orang lain. Semua orang.
Semua
orang tak memiliki hak untuk menghakimi dosa orang lain. Kecuali jika
ia tak pernah melakukan dosa sama sekali. Dan aku rasa, tak ada
orang semacam ini.
“wah
dulu itu mas. Pas jamanya pak harto. Sing jenenge tentara kui wis
rumangsa koyo sing Kuwoso mas. Wis rumangsa kaya gusti Alloh. Wis ora
ono sing iso nandingi wong seragaman mas. Mbiyen sing jenenge truk
XXXXX (bukan karna disamarkan-aku lupa nama truk ini) kui iso jalan
lewat jalur kanan mas. Ora ono sing wani nyeneni. Wong truk kontainer
kui sing due anak rojo mas. Tomy soeharto. Lhah sopo sing wani mas
urusan karo keluarga cendana? Wong tentara mbiyen sing ndue cendana.
Yo wedi kabeh mas”
Jujur,
aku baru tahu. Nama truk itu. kekuasaan itu. dan ia mengucapnya
dengan serius. Entah nyata atau tidak. Aku tak pernah mengalami
jaman-jaman itu secara langsung. Tapi bukan kah sejarah tak
memerlukan fakta. Manusia bisa percaya begitu saja dengan sejarah
asal ia bersumber dari omongan seorang cendekia atau kaum
intelektual. Jika sejarah keluar dari mulut para buruh dan petani-
semua hanya akan menganggapnya opini yang penuh emosi. Sejarah
selalu menawarkan kita banyak cerita.
Amarah
bapak itu redam sendiri. Mungkin sudah kantuk karna hari sudah
melewati angka 12. Dan detik yang berlangsung mengganti hari yang
lama dengan hari yang baru.
Lalu
aku meneruskan perjalan. pulang.
Sekarang
sisa-sisa perjalanan itu masih menempel . Walaupun hanya berupa
serpihan-serpihan kecil. Kepalaku tak memberi banyak ruang untuk
menyimpan data visual. Kadang aku melupakan detail-detail keindahan
yang pernah aku lihat. Seperti bromo kemarin. Ini menyedihkan. Karena
membuat rindu mendalam, menagih orgasme tertinggi. Tapi rasa
ini membuat semacam spirit untuk yakin, bahwa aku harus kesana lagi.
Lebih lama lagi.
Aku
masih ingin mendengar dongeng dari teman yang berkemah disana. Aku
ingin mendengar lelucon dari orang-orang yang sangat menyukai gunung
lebih dari apapun. Bukan, mereka ini bukan mapala, bukan klub pecinta
alam. Mereka menyebut diri mereka itu “Jamaah Sunrise”.
Orang-orang
jamaah sunrise bukan sebuah sekte agama. Bukan pula kepercayaan.
Mereka hanyalah sekelompok yang sangat khusyuk melihat keluarnya
matahari dari seberang. Memang tak hanya melihat matahari terbit.
Mereka juga menikmati matahari terbenam. Dan api yang
menghangatkan malam.
Kalian
akan menemukan mereka di gunung-gunung. Kadang berjalan soliter.
Kadang juga berkelompok. Tidak banyak. Dan bukan pemuda-pemuda yang
suka ria berkemah mengejar matahari. Bukan pula mereka yang mengaku
“penakluk” alam – padahal tak ada yang pernah bisa
menaklukan alam. Kalian bisa juga menemuinya dijalan. Membawa
tas carier besar dan berbagai macam perlengkapannya – tampangya
lusuh. Tapi mukanya selalu berseri-seri.
Salah
satu dari pengikut Jamaah Sunrise pernah mengatakan sesuatu
kepadaku. Waktu itu di atas Pos Penanjakan 2 pukul empat pagi,
berharap melihat sunrise beserta tiga gunung ajaibnya.
Semeru-Bromo-Batok.
“kamu
tahu berapa banyak orang yang naik gunung hanya untuk sekedar
menebalkan namanya? Kalau dalam istilah tipografi-salah satu
mata kuliah kamu itu- mem-Bold namanya. Seleksi teks, lalu
ctrl+b. Iya kan?hahaha sekarang tak hanya jabatan atau gelar
pendidikan. Bahkan pendakian gunungpun dianggap menaikan gengsi.
Orang-orang ini naik gunung untuk membawa bukti “kejantanannya”
dikota. Sekarang banyak sekali orang-orang macam ini”
“berapa
banyak?” kala itu aku bertanya dengan tangan yang kaku karena
dingin.
“banyak
sekali! Yang naik untuk bertemu dengan dirinya yang sejati
Cuma sedikit. Lalu apa tujuan mendaki orang-orang ini. Mereka hanya
teruh melaju-terus melangkah-terus memanjat- tanpa melihat kanan
kirinya. Terlalu gila tujuan tanpa menghayati proses. Akhirnya
rusaklah gunung, laut, hutan, dan desa! Semua karna ulah orang
yang gila dengan nama tebal”
Didalam
kehangatan sleeping bag aku mulai menggigil.
“lho,
semua orang itu nggak bisa kaya kamu mas. Kamu ini Jamaah Sunrise
hahaha. Kamu ini pemuja gunung. Sedangkan kebanyakan dari
manusia-manusia lainya itu pemuja keindahan-yang akhirnya memuja diri
sendiri. Agama mereka itu beda. Mas nyembahnya gunung lhah mereka.
Nyembahnya birahi, puja-puji, dan materi mas. Yang mengaku beragama
dan bertuhan pun menyembah Tuhankarna mengharapkan Surga mas. Bukan
ketulusan badano-rohani. Wong-wong koyo iku kui mung golek aman
soko neroko mas”
Penggila
gunung itu hanya senyum-senyum dan menjelaskan bahwa dia ini bukan
pemuja gunung. Nanti suatu saat aku ceritakan konsep manusia-manusia
“Jamaah Sunrise” ini. Itupun kalau aku masih ingat.
“tapi
biarlah – surga ini terlalu besar untuk dinikmati orang yang
mengerti. Surga ini menyediakan tempat juga untuk orang-orang yang
belum mengerti. tapi harap maklum jika orang yang belum mengerti
hanya menyaksikan surga ini dari jauh. Dari bangku paling belakang.
Biarkan ia menafsirkan sendiri apa yang ia lihat di panggung surga
ini. Saya bukan orang yang mengerti, saya hanya orang yang mencari
pengertian-pengertian mas. Dan orang yang mengerti itu juga belum
tentu benar. Belum tentu duduk dibangku paling depan. Yang duduk di
paling depan itu kebenaran dan kebaikan. Tapi semuanya itu relatif
mas. Karna kadang yang benar belum tentu baik. dan juga sebaliknya.
Mungkin mas akan bertanya lalu siapa yang duduk paling
depan? Dan bagaimana caranya agar kita bisa
duduk disana?mas akan menemukan jawabanya jika mas selalu
menjalani dan membagi kebaikan tanpa harus mengukuhkan kebenaran”
Aku
tersedak untuk mencerna kata-katanya yang mengalir deras. orang ini
seperti membolak-balikan kata saja.
“ingat
mas. Jika kebenaran kamu kukuhkan, lalu hal-hal lain, akan terpukul
rata antara yang baik dan yang tidak. yang berbeda dari kebenaran
akan mendapat nilai salah. Dan segera munculah tirani. Carilah
kebenaran sejati. Tapi jangan berhenti berproses. Karna yang benar
saat ini belum tentu benar-benar benar. Dan yang salah juga belum
tentu benar-benar salah. Yakini kebenaranmu tanpa harus mewujudkan
tirani”
Lalu
aku ingat akan Ayu Utami. Dan Parang Jati.
Dan
matahari pun muncul dari seberang. Membias tipis perlahan.
-IA-
-IA-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar